7 Hari Menuju Semesta (Rabu)
Mimpi yang sama datang kembali. Dia masih berlari dalam gelap dan kebingungan. Bising suara dan bayang-bayang melintas datang silih berganti. Kali ini yang berbeda adalah seperti saran Marli, dia memberanikan diri untuk berhenti dan menengok ke belakang, melihat langsung makhluk apa yang mengejarnya. Namun dia tidak menemukan apapun setelah membalikkan badan. Kosong, hanya ada jalanan gelap, seluruh suara dan bayang-bayang menghilang. Hal tersebut membuatnya bingung, apakah dia harus merasa tenang atau justru meragu lagi.
Di saat kebimbangan tersebut, suara yang memanggil namanya muncul entah dari mana. Dia mengenali suara itu, Marli. Panggilan itu membangunkan dia dari mimpinya.
“Hey bangun! sini bantuin gua.”
Dia masih setengah sadar sambil menyeka matanya. Hal terakhir yang dia ingat adalah bagaimana dia muntah-muntah tidak kuat menahan mual. Memang ini kali pertama dia berada di atas kapal, terombang-ambing di atas luasnya lautan. Mungkin juga ditambah efek “rokok” yang diberikan Marli beberapa saat sebelum mereka naik ke kapal.
“Halo halo, udah sadar belom? Buruan sini ikut gua.”
Muka Marli terlihat jelas di depan matanya, sambil melambaikan tangannya. Dengan sedikit enggan dia mengikuti Marli. Terlihat seorang wanita yang sedang duduk di kursi sebrangnya sedang terkulai lemas. Tiba-tiba Marli memintanya untuk membopoh wanita tersebut. Dia di sebelah kanan dan Marli di sebelah kiri.
“Li, ini siapa lagi?”
“Udah gausah banyak nanya, bantuin dulu aja bro.”
Mereka membawa wanita tersebut ke sebuah ruangan dengan pintu terbuka, terlihat ada beberapa ranjang seperti rumah sakit disana. Dengan cekatan mereka meletakkan si wanita di atas ranjang tersebut.
“Makasih ya mas, maaf ngerepotin.”
“Gapapa mbak, tunggu sebentar ya biar saya panggil orang yang jaga.”
Marli meninggalkan mereka entah kemana. Dia melihat sebuah kursi, menariknya kemudian duduk di sebelah wanita tersebut. Situasi tersebut membuatnya kaget sekaligus bingung. Mereka berdua hanya terdiam disana dalam sunyi. Hal yang baru dia sadari beberapa saat kemudian adalah waniita ini sedang hamil besar. Namun dia tidak berani untuk menanyakan apapun.
Marli datang tak lama kemudian, membawa seorang yang berpenampilan seperti perawat yang dengan sigap melakukan beberapa pemeriksaan sederhana. Tak lama kemudian dia pergi dan kembali membawa segelas air hangat untuk diminum si wanita. Dia mengarahkan wanita tersebut untuk tetap di sana untuk beristirahat sembari meminum air yang dibawanya kemudian meminta Marli untuk menjaga si wanita.
Mereka bertiga terdiam selama beberapa waktu sampai Marli mengeluarkan suara, memecah sepi.
“Jadi mbak ini tadi tiba-tiba jatoh bro pas lagi jalan, lihat sendiri kan itu lagi hamil gede pula. Sebagai lelaki jantan, gua berinisiatif lah untuk membantu.”
“Makasih ya mas, ohiya panggil saya Ayu aja ya jangan mbak, serasa udah tua.”
Dari penampilannya Ayu terlihat sangat muda, mungkin masih 17 tahun duganya. Dia sedikit bingung, bagaimana seorang wanita semuda Ayu bisa hamil besar, dan kenapa dia nekat naik kapal di umur kehamilan seperti itu. Marli mengalihkan perhatian dengan membahas beberapa hal random yang untungnya disambut baik oleh Ayu. Dapat terlihat dari ekspresinya yang mulai menunjukkan manis, sepertinya mereka cocok juga. Setelah mereka berbincang agak lama, Ayu tiba-tiba memotong dengan raut muka yang terlihat sedih.
“Saya boleh cerita ya mas-mas, sekali lagi maaf kalau malah merepotkan kalian.”
Tanpa sedikitpun dipancing, Ayu memulai ceritanya dari saat dia kecil. Dia menceritakan kisah masa kecilnya, bagaimana dia dibesarkan seorang diri oleh ibunya yang sudah terhitung berumur. Ibunya pernah bercerita bahwa bahkan dia tidak mengetahui siapa ayah si Ayu karena terlalu banyak pria yang datang dan pergi dalam kehidupannya. Ayu bercerita bahwa dia sangat menyayangi ibunya, tidak ada hal lain yang dia inginkan dalam hidupnya kecuali menjaga dan membahagiakan ibunya. Bahkan dia merelakan tidak sekolah hanya untuk mendampingi sang ibu. Hidupnya hanya ada di ruang sempit yaitu rumahnya, satu-satunya tempat yang dia kunjungi adalah pasar untuk membeli sembako guna melanjutkan hidup. Untungnya sang ibu punya tabungan yang cukup untuk mereka bertahan hidup.
Dia dan Marli hanya terdiam dan mendengarkan Ayu dan kisah hidupnya. Namun mereka tidak bisa menahan ekspresi kaget saat Ayu menceritakan bagaimana dia bisa hamil dan sampai di kapal ini. Di suatu malam yang gelap Ayu merasakan sakit yang sangat dari area sensitifnya. Ayu sadar penuh bahwa tidak ada siapapun yang bersamanya saat itu. Semua pintu dan jendela rumah selalu dalam keadaan terkunci saat malam hari. Singkat cerita, di pagi hari Ayu menemukan perutnya sudah sedikit menggembung. Ayu sangat ketakutan saat itu dan sama sekali tidak berani untuk menceritakan ke ibunya. Namun semakin hari, perutnya semakin besar sampai tidak dapat disembunyikan lagi dari ibunya. Kata-kata yang tidak akan pernah bisa dia lupakan adalah “maaf ibu ya ndok, kutukan ini harus turun ke kamu juga.” Ayu sama sekali tidak paham apa yang dimaksud, pun tidak ingin mencari tahu lebih lanjut. Waktu terus berjalan sampai memasuki bulan ketiga kehamilan anehnya, perutnya sudah terlihat seperti wanita yang akan melahirkan, mungkin hampir memasuki 9 bulan. Tidak lama kemudian, sambil menangis ibunya memberikannya secarik kertas, “temui orang ini ndok, beritahu jika ibumu yang memintamu kesitu, dan jangan pernah kembali.”
Tentunya Ayu menolak apa yang diminta ibunya, tapi itu adalah satu-satunya hal yang pernah diminta ibunya kepadanya. Kepribadian sang ibu berubah menjadi dingin seakan memaksa Ayu untuk menjalankan perintah ibunya. Hingga akhirnya Ayu terpaksa mengalah dan menuruti ibunya. Di malam hari dia pergi keluar agar tidak ada yang melihatnya, berjalan mencari tumpangan ke pelabuhan dan naik ke kapal ini.
Ayu sangat membenci apapun itu yang ada di perutnya, dia menyebutnya iblis. Sebenarnya beberapa kali dia ingin mengakhiri hidupnya dan penderitaannya, namun takut membuatnya ibunya sedih. Ayu merasa tuhan sangat jahat kepadanya dan ibunya. Satu-satunya hal yang ada di pikiran Ayu sekarang adalah mendatangi orang yang diberitahu ibunya, mengetahui nasib buruk apa yang menimpanya, lalu mengakhiri hidupnya. Suasana mendadak senyap, tidak ada yang tahu harus merespon apa dalam situasi seperti ini. Ayu mulai menangis sesenggukan.
Dia dan Marli hanya bisa terdiam, kejadian ini terlalu absurd untuk mereka.
Sampai di suatu waktu tiba tiba sebuah suara batuk diikuti suara lirih muncul dari belakang. Tanpa mereka sadari ternyata ada satu orang lagi di ruangan tersebut. Tirai di ranjang itu perlahan dibuka oleh orang itu. Ternyata orang tersebut adalah ibu tua yang duduk di sebelahnya di bis pada perjalanannya menuju pelabuhan.
Situasi ini sama sekali tidak pernah ada di bayangannya. Si Ibu Tua meminta segelas air hangat dengan suara yang masih lirih. Dia dengan sigap segera mencari air hangat yang diminta oleh Si Ibu Tua. Dia kemudian membantu Si Ibu Tua meminum air hangat tersebut. Ayu dan Marli hanya menyaksikan dengan ekspresi bingung.
Tak lama kemudian Si Ibu Tua mengeluarkan suara yang lebih jelas. Nampaknya dia terpancing oleh cerita Ayu sebelumnya. Tanpa diminta, apalagi diminta, sebuah kisah muncul dari Si Ibu Tua. Dia bercerita sambil sesekali batuk tentang kehidupannya. Bagaimana sejak muda setelah dia menikah dengan suaminya, dia menjalani hidupnya yang bahagia. Semua sangat indah dalam hidupnya kecuali satu hal, mereka tidak mempunyai anak. Segala upaya telah dilakukan Si Ibu Tua dan suaminya, namun semuanya percuma. Setelah beberapa kali ke dokter, mereka sampai pada sebuah fakta bahwa suaminya lah yang tidak bisa memberikannya anak.
Saat itu suaminya memberikan pilihan untuk meninggalkannya, atau mengangkat anak. Tapi Si Ibu Tua tidak mau. Si Ibu Tua masih ingin berusaha dan melanjutkan keturunan dari mereka sendiri. Jikapun tidak bisa, dia memilih untuk hanya hidup berdua dengan suaminya sampai ajal menjemput. Dan kehidupan itulah yang mereka jalani sampai suatu saat sang suami berpulang.
Satu-satunya keinginan sang mendiang suami sejak dulu adalah untuk dikuburkan di pulau sebrang entah kenapa. Hal yang aneh juga karena seumur hidup Si Ibu Tua dan suaminya, mereka sama sekali tidak pernah berkunjung kesana. Si Ibu Tua yang sangat mecintai suaminya tentu hanya bisa menuruti keinginannya. Namun membawa mayat melintasi pulau adalah hal yang mustahil baginya di usia sekarang. Keputusan sulit yang harus diambilnya adalah mengkremasi mayat suaminya, lalu dia bertekad untuk meninggalkan abu suaminya di pulau tersebut. Setelah itu mungkin dia juga bisa dengan tenang menyusul suaminya.
Si Ibu Tua beranggapan bahwa dunia ini tidak adil. Orang yang mengingikan sesuatu, berdoa dan berjuang keras untuk hal tersebut justru tidak diberikan jalan. Sedangkan orang yang sama sekali tidak menginginkan sesuatu hal malah diberikan dengan cuma-cuma tanpa ada usaha apapun. Namun di ujung kalimatnya dia sedikit tersenyum. Mungkin karena panjangnya hidup yang sudah dijalaninya, Si Ibu Tua tau bagaimana caranya ikhlas secara paripurna.
“Tapi mungkin begitulah cara tuhan bekerja. Tidak ada yang bisa tau kenapa kita dilahirkan, kenapa kita diberikan hidup seperti ini. Kita semua sudah diikat takdir, semuanya sudah ditentukan, akan terjadi, dan kemudian kita tinggal menjalaninya.”
Dia, Marli, dan Ayu kembali hanya bisa terdiam tanpa kata-kata, tenggelam di pikirannya masing-masing. Cukup lama mereka terdiam sampai Marli berdiri dan mengeluarkan gitarnya. Pujangga ini nampaknya ingin memecah kesunyian kembali. Tiba-tiba dia mulai mendendangkan gitarnya dan bernyanyi.
Mingle with the good people we meet, yeah
Good friends we have had, oh, good friends we’ve lost along the way, yeah
In this bright future you can’t forget your past
So dry your tears I say, yeah
No woman, no cry
No woman, no cry, eh, yeahLittle darling don’t shed no tears
No woman, no cry
Dia tidak ingin memotongnya terlebih dahulu karena sepertinya Ayu dan Si Ibu Tua lumayan menikmati hiburan dari Marli. Namun dia rasa justru Marli ingin sekaligus mengolok-ngoloknya,
“Li, kayanya lagunya agak gak pas deh.”
“Loh kenapa? No woman, no cry, tau gak yang dimaksud apa? Bob Marley menulis lagunya bukan bermaksud untuk bilang, ‘hey jangan bersedih biarpun kamu tidak punya wanita’, tapi sebaliknya, lagu ini dituliskan untuk para wanita untuk tidak bersedih, jangan menangis, ‘No Woman, Don’t Cry’ tepatnya.”
Fakta baru dia temukan lagi dari Marli, biarpun tetap sedikit kesal karena situasinya tidak tepat. Namun Si Ibu Tua memotong, mungkin karena melihat ekspresi mukanya.
“Boleh saya request satu lagu?” Marli berhenti bernyanyi, “wah boleh banget ibu, mau lagu apa bu?”
“Both Sides Now”
Tanpa berpikir panjang, Marli mulai dengan intro lagu tersebut. Ternyata khasanah musiknya tidak hanya sebatas musik-musik reggae. Si Ibu Tua mulai bernyanyi dengan suara yang pelan namun merdu.
I’ve looked at love from both sides now
From give and take and still somehow
It’s love’s illusions that I recall
I really don’t know love
I really don’t know love at all
Awalnya hanya Si Ibu Tua yang bernyanyi, namun Ayu mulai mengikuti terbawa suasana. Untungnya di dunia ini, tidak ada batasan terhadap bahasa, semua orang mengerti semua bahasa.
I’ve looked at life from both sides now
From win and lose and still somehow
It’s life’s illusions I recall
I really don’t know life at all
Mereka menikmati sisa hari itu bersama, berbincang melupakan segala kisah yang mereka lalui, sampai akhirnya kapal berlabuh di pelabuhan. Dengan sedikit menyesal katanya, Marli memutuskan untuk menemani Ayu menyelesaikan urusannya. Mereka berpisah di pelabuhan setelah berpelukan. Dia tidak tahu apakah akan bertemu lagi dengan Marli atau tidak namun dia bersyukur pernah bertemunya.
Sedangkan dia memutuskan untuk mengantarkan Si Ibu Tua menyebarkan abu kremasi sang suami.
Hari itu hari Rabu, sekali lagi dia tidak sempat lagi menuliskan puisi yang seharusnya dia tulis. Namun dia sama sekali tidak menyesal karena pertemuan dengan Marli, Ayu, dan Si Ibu Tua meneguhkan hatinya untuk melanjutkan perjalanannya sampai selesai.