7 Hari Menuju Semesta (Senin)

Arief Septian Nurhada
3 min readFeb 16, 2024

--

Bus melaju dengan sangat cepat di lajurnya yang cukup sempit. Dia duduk di baris terdepan bus itu dengan jantung yang berdetak kencang, ‘dag-dig-dug’ tak kunjung henti. Bukan karena pertemuan yang ditunggu-tunggunya. Namun karena bus lainnya baik yang selajur maupun dari arah sebaliknya melaju dengan sama cepatnya. Dan dengan tingkat kengototan yang sama pula jika dilihat (atau lebih tepatnya didengar?) dari bunyi klaksonnya.

“Mengalah berarti kalah nyali, yah namanya juga ego mas,” kata sang Supir yang sepertinya sadar memperhatikannya sejak awal masuk ke lintasan balap ini. “Gak takut kan mas? tidur aja mas tenang aja, saya udah belasan tahun bawa bus disini selalu aman,” kata sang Supir lagi dengan sedikit senyum tertawa meledek dan suara sedikit kencang melawan suara angin dan musik koplo dengan volume yang tak kalah besar. Mungkin maksudnya baik untuk meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan kita akan selamat sampai tujuan namun justru kata-katanya malah membuatnya gusar.

Tapi tidak mau ambil pusing, dia mengalihkan pikirannya ke hal lain yang lebih penting. “Hari Senin, sedang cerah. Aku memulai menggunakan bus dan tepat di 7 hari kedepan, aku akan menemui sang kekasih tercinta di sebuah tempat bernama “Semesta”. Rute sudah direncanakan dengan matang, sampai ke tujuan, selesai tuntas segala urusan. Oh dan tentu, menyerahkan puisi yang akan kutuliskan sebelum pertemuan itu nanti.”

Suaranya terekam pelan di recorder kecil yang dibawanya, dia yakin suaranya pasti samar tertutup semua suara ini. Selain itu sepertinya dia malu. Takut terdengar sang Supir juga seorang ibu-ibu yang duduk persis di sebelahnya yang hebatnya di tengah kondisi seperti ini dia masih bisa tertidur pulas sambil sesekali menjatuhkan kepala ke pundaknya. Ditambah lagi kecanggungan terhadap dirinya sendiri, di titik ini dengan bagaimana cara dia berpikir, berkata, dan nantinya menulis, sepertinya bukan dirinya.

Pikirannya teralih, bagaimanapun dia harus segera memulai langkah keduanya. Setelah langkah pertama yaitu memulai rangkaian perjalanan ini. Karena beberapa hari lagi dia akan mendapatkan jawaban dari pencariannya, mengisi kehampaan hatinya.

Jika diingat semua ini bermula dari mimpi bodoh yang datang di siang bolong ketika dirinya tertidur pulas di tengah online meeting yang harus diikutinya. Dia masih mengingat setiap detil mimpi tersebut, aneh memang. Dari mulai bagaimana dia tiba-tiba terbangun dari mimpinya saat handphone-nya berdering. Ternyata datang sebuah amplop yang saat dia buka ternyata hanya berisikan secarik kertas.

“Cinta ‘kan membawamu, kembali disini. Datanglah ke Semesta. -1.685025, 101.297542.”

Suara dering telpon kedua berbunyi, kali ini yang membangunkannya dari tidur sebenarnya, kembali ke alam sadar.

Aneh memang jika dia pikir, dari mulai lagu Dewa 19, Semesta, sampai latitude longitude jelas yang seperti tertanam di kepalanya. Tapi tekadnya sudah bulat, dia akan menjemput kekasihnya dan memberinya puisi terindah yang pernah ditulis sepanjang sejarah umat manusia.

“Oke mari kuatkan pikiran dan perasaan, puisi puisi puisi,” ujarnya dalam hati.

Selain waktu, tenaga, dan kehadirannya, dia rasa hanya puisi yang ditulisnya dengan menumpahkan seluruh hatinya lah yang dapat menjadi hadiah untuk sang kekasih saat pertemuannya nanti. Lantas kenapa puisi, dirinya pun bingung bagaimana dia bisa terpikir untuk berjanji kepada diri sendiri untuk menulis sebuah puisi yang sama sekali tidak pernah dilakukannya. Jangankan puisi, menulis apapun itu rasanya jauh sekali dari keahliannya. Terlebih lagi jika harus dilakukan dalam kondisi seperti ini. Tapi bagaimanapun dia harus melakukannya. Sambil sesekali menengok ke si Ibu, memastikan dia masih tertidur pulas sehingga tidak mendengar kata-kata yang akan direkamnya.

Terlintas dua kata, pelan-pelan dia berbisik ke alat perekam suara yang dibawanya.

“Tentang cinta,” sambil tersenyum dengan sedikit geli pada dirinya yang tiba-tiba romantis.

Kepala si Ibu di sebelah kembali jatuh ke pundaknya, membuyarkan kembali fokus yang sudah dibangunnya.

“AS*, GIMANA MAU MIKIR INI!”, tentunya dia hanya bisa memaki dalam hati. Kemudian segera menghela nafasnya, menenangkan emosinya.

Semua distraksi ini benar-benar mengganggunya. Seandainya dia bisa duduk di sebelah jendela dan seandainya juga tidak ada si Ibu di sebelahnya. Mungkin paling tidak pusingnya bisa sedikit terobati sebatang dua batang rokok. Kalaupun tidak bisa, tak perlu muluk-muluk pikirnya, seandainya saja ada segelas soda dingin yang bisa diminumnya untuk menyegarkan tenggorokan juga mendinginkan kepalanya.

Tangannya bergerak pelan meletakkan alat perekam suara kembali ke kantung celananya. Kemudian mendongakkan kepala sambil memejamkan mata. Berharap dirinya bisa tertidur cepat, segera sampai di rest area, sukur-sukur langsung sampai ke terminal akhir bus ini.

Masih ada waktu 6 hari lagi untuk puisinya, sekarang dia hanya ingin segelas soda.

--

--