7 Hari Menuju Semesta (Selasa)
Terlihat bayangan orang-orang yang dilewatinya sambil berlari. Semuanya kabur seperti garis-garis hitam yang selintas berwujud manusia di atas cahaya terang lampu jalanan seperti lukisan bergerak. Nafasnya engap dari lari yang tidak tau sudah berapa lamanya. Dengan latar yang tiba-tiba berganti ke tempat yang dengan mudah dikenalinya biarpun tidak terlihat jelas. Dari jalan perumahan, pusat keramaian kota, sampai ke pematang sawah. Suara-suara teriakan dan tangisan, makian terdengar lirih tidak jelas dari penjuru arah. Dia tidak tahu dari apa dia berlari, rasa takut menghalanginya untuk menengok ke belakang. Suara dari dalam dirinya berkata “lari, lari lebih jauh lagi, jangan pernah menoleh ke belakang.” Sepertinya sampai saat nafasnya terlalu sesak dan kakinya terlalu berat untuk berlari, dia tidak akan berhenti berlari. Dan hal tersebut sangat menyiksanya saat ini karena tubuhnya sudah sangat lemah dan langkahnya sudah terseok-seok. Detak jantung dan nafasnya dapat terdengar jelas menutupi suara yang didengarnya. Dia tidak kuat lagi.
Dia terbangun. Tepatnya seseorang membangunkannya, menyelamatkannya dari mimpi buruk yang datang di siang bolong. Dalam kondisi setengah sadar dia melihat dengan samar seorang pria berkulit agak hitam, berambut gimbal terikat seadanya. Orang itu menempuk bahunya, “bang bangun bang, hei, ini kapalnya udah mau berangkat.”
Setelah kesadarannya kembali utuh, dia kembali teringat pada perjalanan yang sedang dilaluinya. Juga pada orang yang barusan membangunkannya, Marli. Mereka berkenalan beberapa waktu lalu saat dirinya baru sampai dari perjalanan panjangnya menggunakan bis. Tepatnya saat dia hendak meminjam korek karena entah bagaimana caranya korek yang dibawanya hilang. Sebenarnya saat itu dia agak segan menghampiri Marli, sedikit kagok melihat perawakannya yang persis seperti Bob Marley. Tapi justru Marli lah yang menghampiri-nya duluan, mungkin karena melihat ekspresi kebingungannya. Marli memberikannya sebatang rokok lintingan sebelum dirinya tertidur pulas menunggu perjalanan selanjutnya dimulai menggunakan kapal. “Apa mimpi buruknya barusan itu karena ‘rokok’ yang diberikan Marli tadi?” terlintas di pikirannya sebelum mukanya ditepuk pelan oleh Marli. “wah malah bengong, bangun, bangun wey.”
Sialnya, ternyata kapal belum datang. Ternyata Marli bosan juga menunggu sendiri dan mencari teman untuk berbincang-bincang. “Hehe, daripada tidur sini ikut gua aja bang, kita duduk sebentar disana mumpung lagi syahdu gini pemandangannya,” sambil menunjuk ke arah pinggir dermaga. Tidak mau banyak pusing, dirinya terpaksa mengikuti kemauan Marli. Barangkali bisa sedikit menenangkan pikiran dari mimpi buruk yang barusan dialaminya.
Benar memang katanya, ternyata di siang menjelang sore pemandangan di dermaga ini bagus juga. Dia duduk sambil meletakkan tas gitar yang dibawanya. Tampaknya cukup mahal biarpun dirinya sama sekali tidak paham tentang gitar-gitaran.
“Jadi mau kemana kita?” tiba-tiba meng-claim seakan kami adalah dua sobat yang hendak melakukan perjalan bersama. “Eh gimana, kita?”
Perbincangan dua orang asing ini dengan sangat cepat mengalir, seakan kawan lama. Mulut Marli tak berhenti mengucap seperti keran bocor, menceritakan seluruh pengalaman hidupnya juga perjalanan yang dia lakukannya. “Iya jadi gua emang lagi jalan-jalan aja, refreshing sambil tipis-tipis nyari inspirasi buat nulis lagu.” Marli adalah seorang musisi yang baru saja “dikeluarkan” dari band reggae yang dibuatnya dari nol. Katanya dia belom siap terkenal, sedangkan label rekaman yang mau meminang band mereka meminta seminimalnya ada 2 album yang bisa dikeluarkan dalam 3 tahun. Sebenarnya dia tidak dikeluarkan, lebih tepatnya kabur karena tekanan semakin jadi yang dihadapinya. “Bukannya gak bisa ya, jadi ya biarin aja lah mengalir, kalo nemu inspirasi bisa buat nulis lagu gua balik, kalo nggak yaudah juga gapapa, lepaskan saja.”
‘Jadi kalo abang sendiri gimana, lagi ngapain ini ceritanya?”. Dengan sedikit ragu-ragu dia menceritakan perjalananya ke Marli. Padahal belum ada satu orangpun di dunia yang tau tentang ceritanya. Tak ada salahnya juga karena setelah ini mereka akan berpisah dan tidak akan pernah bertemu lagi. Hal yang tak digunanya adalah respon Marli, dia tertawa cukup kencang sambil menepuk bahunya lagi. “Duh hahaha, sedikit klise juga ngikutin mimpi, jalan, nulis puisi, aduh kasian lo bang.”
“Loh, kenapa kasian???” ekspresi mukanya mengerutkan dahi, sedikit kesal mendengar respon Marli. “
“Duh maaf bang haha, saran aja inimah, kayak gimana gua lepas dari label rekaman, harusnya lo bisa lepas dari mimpi-mimpi itu. Gua yakin, tidur barusan tadi juga kedapetan mimpi kan, set yourself free bro.”
Dia hanya berpikir bahwa Marli tidak mengerti situasinya saat ini. “Udah bahas yang lain aja lah.”
“Nahh gini-gini nih, ngehindar. I wanna know, wanna know, wanna know now,” tiba-tiba setengah bernyanyi.
“Mau tau apaan lagi, c*k.”
“Nah gitu dong, keluarkan haha.”
Tapi mungkin ada benarnya juga Marli, dia sadar mimpi yang datang kepadanya di satu sisi melepaskannya dari jeratan nasib, tapi disatu sisi masih mengekangnya. Dia menceritakan potongan puzzle yang belum tersampaikan, yaitu mimpi siang bolongnya tadi, beserta intrepetasinya. Sambil berpikir dia bercerita, mungkin mimpinya tadi berusaha mengingatkannya tentang dosa-dosa dan kesalahan yang dia anggap tidak dapat ditebus dengan apapun. Mengganjalnya dari apapun itu yang akan datang.
Marli tidak dapat banyak berkata setelah mendengar ceritanya. Antara dia sudah mulai bosan mendengar cerita yang membosankan, atau mungkin sedikit menyesal dengan perkataannya sebelumnya.
“Sesekali, kalo mimpi tadi dateng lagi tengok belakang bro, lawan, don’t worry about a thing, everything’s gonna be alright,” tiba-tiba kembali setengah bernyayi, “bend your dreams,” lontarnya dengan enteng.
Dia tidak mau menanggapi lagi, biarpun perkataan Marli sedikit membuka matanya.
Melihat dirinya terdiam Marli menyogohkannya lagi sebatang lintingan yang sebelumnya diberikan, “nih, gua kasih sebatang lagi, tapi dengan satu syarat, judul puisinya diganti ya jadi ‘One Love’, nanti gua bantu juga nulis puisinya, tenang aja, musisi gua bro, gampang nulis-nulis gituan mah”
Tanpa berpikir panjang, dia mengambil lintingan yang ditawarkan Marli. Lumayan pikirnya, bukan untuk menenangkan pikirannya tapi agar Marli bisa diam dan jika berlanjut mungkin merubah topik pembicaraannya. Pun dia tidak akan mengganti juga judul puisinya seperti permintaan Marli.
“Eits, tapi abis ini jangan tidur lagi ya, bentar lagi udah mau sampe ini ferry-nya.”
Hari kedua sudah hampir terlewat tanpa sepatah katapun dia tuangkan ke puisinya. Tapi biarlah, masih ada waktu 5 hari lagi untuk puisinya, sekarang dia hanya ingin naik ke kapal ferry dan meneruskan perjalannya.