How to Disappear Completely

Arief Septian Nurhada
6 min readMay 1, 2023

--

Waktu sudah menunjukkan pukul 11:13 malam, Surpi mengendarai taksi-nya dengan santai sesudah mengantar penumpang terakhirnya malam itu untuk pulang kembali ke rumahnya yang tidak jauh dari lokasinya saat itu. Saat dirinya melintasi sebuah kelokan di bekas deretan ruko yang sudah sepi, dirinya menemui seorang wanita yang berdiri sendirian di pinggir jalan. Wanita tersebut terlihat termenung dilapisi pakaian putih dari atas sampai bawah. Supri sedikit ketakutan melihat wanita tersebut, apalagi dengan pakaian seperti itu. Namun seperti ada sesuatu yang menggerakannya untuk menawarkan bantuan ke wanita tersebut, mungkin simpati, mungkin hal lainnya. Tanpa berpikir panjang, dia berhenti dan menurunkan jendela mobilnya.

“Mau kemana neng? butuh tumpangan?”, sambil berusaha meyakinkan dirinya lagi di tengah ketakutan yang sedikit mengganggunya.

“Boleh mas, saya ikut ya, tapi saya gak megang uang”. Dengan suara pelan yang lembut, hampir tidak terdengar karena kencangnya angin yang berhembus malam itu.

Wanita tersebut dengan perlahan masuk ke dalam mobil, duduk persis di tengah kursi belakang. Supri melihat ke kaca spion tengah mobilnya sambil menanyakan kemana wanita itu hendak pergi malam-malam begini. Wanita tersebut dengan suara yang agak datar memberikan lokasi sebuah perumahan yang jaraknya cukup jauh dari situ. Mendadak udara di dalam mobilnya terasa lebih dingin dari sebelumnya, bulu kuduknya pun perlahan berdiri. Biarpun perjalanan itu sepertinya akan membawanya sedikit menjauh dari arah pulangnya, juga rasa takut yang mengganggunya, Supri tetap yakin dirinya akan mengantarkan wanita itu terlebih dahulu.

Hening menemani perjalanan awal perjalanan keduanya dengan suara musik di radio yang menemani mereka dengan suara yang dikecilkan.

“Pernah terpikir untuk menghilang?”, pertanyaan tersebut tiba-tiba terlontar dari si Wanita Putih. Pertanyaan yang sangat aneh, mencampur aduk perasaan takut Supri dengan kebingungan.

“Mungkin, sesekali”.

“Kenapa?”, kata si Wanita Putih setelah jeda beberapa saat.

“Terkadang saat mumet neng, banyak pikiran, banyak masalah, rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini, kemanapun itu, mungkin memulai kehidupan yang baru.”

Diam kembali menyambangi mobil tersebut. Sembari mereka berdua melintasi pinggiran kota yang sudah sepi tersebut, dengan sesekali hanya melintas satu dua kendaraan lainnya. Di tengah kesepian itu, Supri memberanikan diri untuk mengonfirmasi pertanyaan yang ada di pikirannya.

“Neng ini beneran?”, sesaat sebelum melanjutkan pertanyaannya, dia berpikir bahwa pertanyaannya sangat bodoh. Jika benar, mungkin sesuatu yang menyeramkan akan segera terjadi. Namun jika tidak, sudah jelas itu akan menyinggung perasaan penumpangnya.

Namun si Wanita Putih menjawabnya, “tergantung yang dimaksud dengan ‘beneran’ ini apa?”

“Neng ini orang beneran, atau… hmm hantu?”. Supri melanjutkan pertanyaannya dengan keraguan, menelan ludah di ujung kalimatnya.

Si Wanita Putih tertawa sedikit selepas pertanyaan tersebut dilontarkan Supri. Sedikit menakutkan jika mengingat gaya tertawanya sedikit seperti apa yang sering didengarkan di cerita-cerita horor yang beredar tentang sosok wanita putih berambut panjang. Namun SI Wanita Putih segera menjawab seakan tidak ingin suasananya berubah jadi mencekam.

“Bisa dibilang seperti itu, tapi bukan seperti yang kamu bayangkan. Saya tidak suka jika dibilang ‘hantu’ oleh orang-orang. Lebih tepatnya saya masih manusia, tapi tidak beraga. Jiwa yang tertahan diantara dua dunia.”

Supri bingung bagaimana harus menanggapinya, seharusnya dirinya takut mendengar dugaannya dikonfirmasi benar. Namun rasa takut yang ada pada dirinya justru berangsur menghilang.

“Tidak perlu takut, saya sama sekali tidak ada niatan apapun. Lanjutkan saja”.

“Hmmm… baik neng”.

“Maaf neng sebelumnya jika saya lantang, tapi seperi apa rasanya mati?”

“Dulu saya takut dengan kematian, tapi setelah merasakannya seperti tidak seperti yang saya bayangkan. Mungkin cuma bentuk lain dari kehidupan yang selama ini kita ketahui.”

“Mungkin rasanya seperti saat kita memasuki suatu dunia baru yang tidak kita ketahui, semua yang kita tahu seperti tidak berguna. Yang tersisa adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum tentu dapat dijawab siapapun. Ditambah rasa takut akan apa yang akan terjadi kedepannya.”

“Ternyata hantu juga bisa takut ya neng…. eh maaf, maksudnya ehmmmm, yagitu mungkin makhluk seperti neng”

“Iya begitu, wajar bukan kita takut terhadap suatu yang tidak kita ketahui. Seperti apakah setelah ini semua berhujung kehampaan, atau ada dunia lainnya lagi.

Jiwa mengobrol pada diri Supri seakan bangkit secara perlahan, seperti supir pada umumnya yang mulai diajak bicara oleh penumpangnya, biasanya akan mengeluarkan apapun itu yang ingin dia bicarakan saat itu.

“Iya neng, kalo boleh cerita juga mungkin saya juga merasa seperti itu. Seperti sekarang, biarpun kehidupan saya bisa dibilang sudah nyaman dan aman, namun tetap saja terasa ada suatu hal yang kurang. Seperti misalnya ada mimpi-mimpi yang belum tercapai, tapi mungkin saya harus mengorbankan semua hal yang saat ini saya punya. Bisa jadi juga harus menyulitkan orang-orang yang saya sanyangi.”

“Memang apa mimpi tersebut?”

“Hehehe, jangan ketawa ya neng. Jadi dari kecil saya bercita-cita menjadi pelukis. Tapi bukan pelukis seperti yang banyak pikirkan. Melainkan pelukis pada truk yang mungkin sering neng lihat.”

Supri dengan lugas menceritakan semua tentang mimpinya, dari mulai bagaimana dirinya saat kecil tinggal di pinggir jalan lintas yang dipenuhi truk-truk dengan gambar yang lucu di belakangnya. Menurutnya semua itu sangat menghibur. Juga menjadi gambaran perasaan seorang supir truk yang mungkin sering diremehkan orang banyak biarpun padahal mereka juga manusia yang punya lika liku kehidupan sendiri. Dirinya sangat suka bagaimana seni bisa berbentuk apapun, bisa menjadi perpanjangan jiwa seseorang yang mungkin tidak terlihat di balik kemudi, apalagi terlihat kehidupan yang terjadi di belakangnya. Seperti ada ikatan emosional antara dirinya dengan lukisan-lukisan di truk tersebut, sehingga membuatnya selalu membayangkan bagaimana senangnya dia dapat menjadi penyalur rasa tersebut ke orang banyak.

Namun tentu banyak yang ia takutkan. Terutama bagaimana dia dapat terus menghidupi istri dan anaknya dengan menjadi seorang ‘seniman’ pelukis truk. Pun dia juga belum yakin dengan dirinya sendiri yang dapat menjadi seorang pelukis yang handal. Dirinya seringkali berlatih menggambar di sela waktu kosong yang ia punya, biarpun baginya hasilnya masih jauh dari ekspektasinya sendiri. Singkatnya dia takut untuk memulai kembali, memasuki kehidupan baru, kembali menyambut ketidakpastian.

“Seperti menghilang dari kehidupan dan masuk ke lembar kosong baru”, sambar si Wanita Putih.

“Iya mungkin begitu, seperti hidup tapi tidak hidup karena kita tau ada sesuatu hal yang menunggu kita di depan”

“Rasanya sama, seperti kematian, kita semua takut terhadap hal tersebut karena meninggalkan semua yang sudah kita punya, tapi di sisi lain kita ingin menghampiri apa yang ada dibaliknya.”

“Pada akhirnya, cepat atau lambat, kita cuma harus berani mengambil keputusan bukan, begitulah kita benar-benar bisa ‘hidup’”, sambut Supri seakan menjadi sosok bijaksana yang menyimpulkan pembicaraan mereka berdua.

Supri ingin lebih banyak menanyakan hal lagi kepada si Wanita Putih, namun keduanya sudah mendekati lokasi tujuan mereka. Terdengar dari radio yang dipelankannya lagu ‘How to Disappear Completely’ yang akan menemani mereka di sisi perjalanan malam ini. Sudah tentu keduanya tidak mengetahui lagu tersebut, apalagi bisa memaknai liriknya. Tapi mereka berdua menikmati suasana melankolis juga optimistis yang tercampur aduk pada musik yang terlantun pelan.

Sampai akhrinya mereka berdua tiba di sebuah rumah kecil dengan lampu yang masih terlihat menyala dari dalam. Terlihat samar-samar dari kejauhan jendela bayangan yang sepertinya kamar tidur. Seorang pria sedang duduk di atas kasur seperti mengantarkan anaknya tidur dengan hangat. Sampai akhirnya dia beranjak dari kasur, berdiri, dan mematikan lampu kamar tersebut.

“Terima kasih”. Kata terakhir yang terucap oleh Si Wanita Putih.

Mengailhkan perhatian Supri kembali ke spion tengah mobilnya. Melihat bagaimana penumpangnya tersenyum, bukan senyum menyeramkan seperti yang biasa ditampilkan pada film horor, namun senyum tulus terima kasih kepadanya. Sebelum dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan wanita tersebut perlahan menghilang menuju kehampaan.

Supri yang seharusnya ketakutan, hanya dapat tersenyum. Seakan berkata bahwa firasatnya benar. Dia tidak pernah merasakan perasaan kepuasaan, sekaligus terbebas dari segala keraguan yang dirasakannya. Mungkin dia berhasil mengantarkan wanita tersebut ke tempat berlabuhnya selanjutnya, yang si wanita pun tidak ketahui. Di sisi lain, dia juga mengantarkan dirinya sendiri ke sebuah jalan yang selama ini hanya ada di bayangannya. Meyakinkan dan menyiapkannya untuk menyambut apapun itu ketidakpastian yang akan datang pada dirinya.

-End-

--

--