Essensimo
Dia menari di atas ranjang. Matanya tertutup. Earphone menempel di telinganya, kabel menggantung ke pemutar musik yang ada di dalam kantung celana pendeknya. Terdengar lagu berputar samar-samar. Badannya bergerak natural mengikuti irama musik dengan beat yang semakin cepat. Sesekali bunyi batuk terdengar dari mulutnya.
Gambar bergerak terpancar dari proyektor yang terduduk tenang di atas meja di seberangnya. Berlatarkan pantai dengan ombak yang bergelombang tenang. Batuknya terdengar lebih dengan interval lebih cepat. Warna langit oranye gelap dan laut biru gelap terlihat saru di belakangnya. Dengan matahari terlihat mulai tenggelam di ujung cakrawala.
Suara musik mulai samar-samar hilang, memasuki bagian akhir. Badannya berhenti bergerak, yang tersisa hanya nafas yang terengah-engah. Guratan cahaya berwarna hijau terang muncul di penghujung cahaya matahari yang baru saja menghilang, terpantul dari mukanya yang membelakangi dinding kamarnya. Matanya terbuka perlahan memandang kosong ke arah pintu yang terbuka dengan tatapan yang semakin tajam. Dia terdiam di dalam sunyi dengan latar gelapnya malam lautan tenang.
Tubuhnya terkulai sendirian di atas sebuah trampolin. Dia kembali terbatuk ringan beberapa kali. Matanya menatap tegak ke langit yang sudah gelap. Memandang bulan purnama yang bersinar kebiruan terang seukuran jam dinding. Suara gonggongan anjing dan kentungan tiang listrik terdengar dari kejauhan. Badannya bergerak berpindah posisi duduk di ujung trampolin. Kemudian dia berdiri dan berjalan pelan menyusuri jalan setapak, membuka gerbang kecil berwarna hijau metalik. Terlihat motor beat karbu berwarna merah cerah di sebrang jalan. Dengan cahaya dari lampu jalan yang terang menyinari dari atas. Motornya ditegakkan kemudian bergerak cepat men-strater dengan 2–3 kali genjotan kuat.
Motor Beat-nya berjalan perjalan menyusuri jalan tanjakan berkelok itu. Lampu penerang berbaris rapih di kanan kiri jalan. Sesekali kendaraan lain melintas dari lawan arah. Membuyarkan sepi senyapnya malam. Motornya melaju semakin kencang semakin curam tanjakan jalan. Sesekali dia kembali terbatuk, menutup mulutnya dengan tangan kiri dengan pandangan fokus ke jalan. Lampu penerang mulai jarang dan remang-remang tertutup rimbunnya hutan di kiri jalan dan jurang di kanan jalan. Motornya melambat di turunan landai lurus dengan persimpangan yang terlihat di ujung jalan. Terlihat gapura bercorak merah putih yang sudah kusam. Dia meneruskan motornya melintasi gapura melalui jalan setapak beralaskan tanah merah. Pepohonan lebat menutupi cahaya bulan purnama. Hanya lampu depan motornya yang memotong gelap gulita jalan tersebut. Motornya kembali melambat sesaat jalanan berbatu mulai muncul. Cahaya bulan kembali terlihat di ujung jalan. Bunyi air jatuh mulai terdengar tipis dari kejauhan. Seketika bunyi air deras menutupi suara motor yang dikendarainya. Air terjun dan sungai berbatuan besar terlihat dikelilingi hutan lebat tak berhujung. Sebuah rumah kayu tua tertutup terlihat di pinggiran sungai.
Dia memberhentikan dan mematikan motornya. Dengan perlahan berjalan menuju batas sungai, tepat di seberang air terjun. Cipratan air mulai terasa membasahi pakaiannya. Dia berdiri terdiam memandang kosong air terjun yang sekilas terlihat bersinar memantulkan cahaya bulan. Beberapa pasang mata merah terlihat di balik lebatnya hutan di sekitarnya, perlahan bertambah jumlahnya seiring badannya yang semakin basah. Dia masih terdiam, mengabaikan mata-mata merah tersebut. Seketika memejamkan matanya, mendengarkan suara air terjun yang semakin kencang menyelimuti pendengarannya. Dia kusyuk memperhatikan setiap air yang jatuh dengan suara berirama bak simfoni. Matanya masih terpejam.
Dia membuka matanya. Kali ini yang dilihatnya hanya sebuah pantai bergaris tak berkesudahan. Suara derasnya air terjun berubah menjadi ombak yang bersaut-sautan dari laut gelap di depan matanya. Terdengar suara detik jam yang tertutuo suara ombak. Pakaian dan badannya sudah kering tertiup angin laut. Sepatunya basah tenggelam di pasir basah yang tersisa dari derasnya ombak. Seketika dia menunduk untuk melepaskan kedua sepatunya. Dia terdiam sejenak dengan ekspresi datar, matanya terlihat berbinar. Dia mulai berjalan menyusuri pasir pantai kemudian mulai menggerakkan seluruh tubuhnya untuk berlari pelan.
Laju larinya semakin cepat, berlari ke arah laut. Suara detik jam terdengar semakin kencang, menyatu dengan suara angin, pisik basir, dan ombak. Dia berlari semakin kencang mengikuti irama suara-suara yang bersahutan. Dia terus berlari, berlari, berlari walaupun tak kunjung menyentuh batas pantai dan lautan. Nafasnya mulai terasa berat. Namun dia tidak berhenti berlari, kali ini sambil memejamkan kedua matanya. Lantunan musik dari Les quatre cents coups mulai terdengar entah dari mana. Hingha akhirnya kakinya merasakan elusan air ombak di bibir pantai. Suasana dinginnya angin laut dan gelapnya malam seketika berganti sinaran yang menghangati tubuhnya. Seluruh suara mulai memudar. Dia berhenti, kembali terdiam, dan membuka matanya perlahan. Cahaya matahari sedikit menyilaukan pandangannya namun kemudian terlihat jelas lautan biru muda terhampar. Detik jam berhenti, suara musik dan ombak menghilang. Yang tersisa hanyalah ketenangan.
Terinspirasi dari Essensimo (Sore), beberapa potongan adegan berbagai film, sekaligus latihan menulis tanpa dialog dan monolog. Juga sedikit tribute untuk alm Ade Paloh (rest in peace🕊️🤍) berdasarkan sore dan cahaya.